Fiqh ( Haji )


HAJI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Fiqih

Dosen Pengampu : Riza Zahriyal Falah, M.Pd.i






Disusun Oleh :

1.      Achmad Khoirudin ( 1510110163 )

2.      Ana Sofiatur

3.      Jugh



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN 2016

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Haji merupakan merupakan rukun islam kelima yang diwajibkan bagi seorang muslim sekali sepanjang hidupnya bagi yang mampu melaksanakannya, setiap perbuatan dalam ibadah haji sebenarnya mengandung rahasia contih seperti ihrom sebagai upacara pertama maksudnya adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan hanya menghadap diri kepada Allah Yang Maha Agung. Memperteguh iman dan takwa kepada Allah SWT karena dalam ibadah tersebut diliputi dengan penuh kekhusyu’an, ibadah haji menambahkan jiwa tauhid yang tinggi.

Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan mental dan akhlak yang mulia. Ibadah haji adalah merupakan pernyataan umat islam seluruh dunia menjadi umat satu karena memiliki persamaan atau satu akidah. Memperkuat fisik dan mental, karena ibadah haji maupun umrah merupakan ibadah yang berat memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya yang besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi godaan dan rintangan. Ibadah haji menumbuhkan sengata berkorban, baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.

Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk membangun persatuan dan kesatuan umat islam sedunia. Ibadah haji merupakan muktamar akbar umat islam sedunia, yang peserta-pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia dan ka’bahlah yang menjadi symbol kesatuan dan persatuan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian haji?

2.      Apa syarat dan rukun haji?

3.      Apa saja yang diwajibkan dan disunnahkan pada saat melakukan ibadah haji?







BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Haji

Haji adalah menurut (asal maknanya) adalah “menyengaja sesuatu”. Haji menurut syara’ adalah sengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa ibadah, dengan syarat-syarat tertentu. Haji merupakan rukun islam yang kelima, diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu untuk mengerjakan. Jumhur Ulama sepakat bahwa mula-mulanya disyariatkan ibadah haji tersebut pada tahun ke enam hijriah, tetapi ada juga yang mengatakan tahun ke sembilan hijriah. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an. S Sunnah dan Ijma’.

Haji diwajibkan atas orang yang kuasa, satu kali seumur hidupnya. Seperti firman Allah SWT surat Ali Imran : 97.

وَلِلَّهِ عَلَى النّاسِ حِجُّ البَيتِ مَنِ استَطاعَ إِلَيهِ سَبيلًا

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali Imran: 97)

Dan sabda Rasulullah SAW. :

Dari Ibnu’Umar, Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam itu ditegakkan di atas 5 dasar: (1) bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak (patut disembah) kecuali Allah dan bahwasannya Nabi Muhammad itu utusan Allah, (2) mendirikan shalat yang lima waktu, (3) membayar zakat, (4) mengerjakan haji ke Baitullah, (5) berpuasa dalam bulan Ramadhan.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadist ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

“Rasulullah SAW berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, “wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.” Lantas ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hungga tiga kali. Rasulullah SAW lantas  bersabda, “seandainnya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim)

Dalil ijma’ para ulamapun sepakat bahwa hokum haji itu wajib sekali seumur jidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum mand diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui kewajibannya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.[1]

B.     Syarat dan Rukun Haji

1.      Syarta wajib haji

Para ulama berkonsensus bahwa haji berlaku wajib atas setiap (1) orang islam (2) berakal, (3) merdeka, (4) baligh, (5) sehat, (6) mampu, sekali seumur hidup. Dalam hal ini, wanita sama seperti pria dan syarat-syaratnya juga dari syarat-syarat yang berlaku bagi pria. Jika ada satu syarat dari syarat-syarat ini tyang hilang, maka kewajiban haji atas orang tersebut menjadi hilang.

a.       Islam

Islam dan berakal merupakan syarat wajib sekaligus syarat sah. Oleh karena itu, haji tidak wajib atas orang kafir menurut iijma’ seluruh ulama, begitu juga atas orang murtad atau orang yang sedang menjalani hukuman kareni delik murtad atau delik-delik penistaanberbagai  cabang islam lainnya. Pada saat seorang murtad, ia (menurut pandapat Ahmad dalam satu versi, Abu Hanifah, dan Malik) tidak dikenal kewajiban haji meskipun ia mampu dan status kemamuannya tidak serta-merta gugur dengan kemurtadannya. Sedangkan menurut Asy-Syafi’I dan Ahmad (dalam versi pendapat yang lain) , jika ia haji, kemudian ia murtad ia  tetap ridak dikenai kewajiban haji.

Haji yang dilakukan orang kafir dan murtad juga tidak sah, sebab haji merupakan ibadah yang salah satu syarat-syarat adalah niat dan niat tidak sah dilafalkan oleh orang kafir maupuun murtad. Selain iu orang kafir dilarang keras masuk Tanah Haram.

b.      Berakal

Haji juga tidak wajib atas orang gila menurut consensus seluruh ulama (ijma’), dan tidak sah pula olehnya meskipun ia melakukannya sendiri, sebab orang gila tidak memiliki orientasi (qashd) , sementara orientasi melakukan sesuatu merupakan syarat sah suatu ibadah (termasuk haji). Begitu halnya jika ia diwakili oleh walinya dalam menunaikannya, namun ada pendapat dari Imam Malik dan As-Syafi’I yang menerima keabsahan haji yang dilakukan seorang wali atas anama orang gila yang diwakilinya.

Adapun jika seorang gila kemudian sadar (sembuh) , dalam rentang masa sadarnya ia diperkirakan mampu manunaikan haji sementara syarat-syarat yang lain sudah terpenuhi, maka ia wajib haji. Jika tidak memungkinkan, ia pun tidak dikenai wajib.

Keabsahan pelaksanaan haji mandiri oleh yang sadar dari gila (tanpa diwakilkan pada wali) mengharusknnya menetap bebrapa waktu di Tanah Suci, wukuf, thawaf, dan sa’i.

c.       Baligh

Usia baligh dan status merdeka penuh merupakan syarat wajib dan izta’ (mencukupi), bukan syarat sah. karena itu, haji tidak wajib atas anak-anak kecil dibawah usia baligh menurut kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Nabi SAW:



Diangkatlah  pena dari iga orang: Anak kecil hingga baligh, orang gila hingga ia sadar, dan orang tidur hingga ia terbangun.

Alasan lain, ia belum mukallaf, dan haji membutuhkan pengorbanan harta benda dan badan. Selain itu, niatnya juga masih banyak kekurangan. Meskipun demikian, haji seorang anak kecil tetap sah berdasarkan hadist yang diriwayatkan  dari Ibnu Abbas bahwasannya ada seorang ibu mengangkat seorang bocah ke hadapan Nabi SAW dari dalam tandu kendaraannya, seraya berseru, “wahai Rasulullah, apakah ini boleh haji?” Beliau menjawab, “Ya, dan bagimu pahalanya,”

d.      Merdeka

Haji tidak wajib  atas budak sahaya (raqiq) menurut kesepakatan ulama, sebab masa pelaksanaan haji berlangsung lama, sehingga jika ia berhaji maka ia praktis mengabaikan hak majkan, dan orang yang masih sibuk dengan kebutuhan dasar (dalam hal ini kemerdekaan diri) . Selain itu juga tidak memiliki harta benda.

Namun, jika seorang budak  melaksanakan ihram haji, maka menurut kesepahaman ulama (wifaq) hajinya tetap sah, sebab bagaimana pun budak termasuk ahli ibadah, sehingga hajinya pun tetap sah sebagaimana orang merdeka.



e.       Mampu

Mampu merupakan syarat wajib, namun bukan syarat ijza’ (mencukupi). Jika seseorang melakukan ibadah haji padahal ia sakit, lanjut usia, atau miskin maka menurut ijma’ ulama, hajinya sudah sah dan mencukupi. Hal itu dikarenakan banyak sekali kalangan sahabat yang menunaikan haji bersama Nabi SAW, sementara mereka tidak memiliki harta  benda (fakir), namun nyatanya Nabi  SAW tidak memerintahkan mereka untuk kembali berhaji.

Kemampuan yang menjadi salah satu syarat wajib haji terwujud dengan indicator sebagai berikut: ketersediaan alat transportasi, bekal, keamanan jalur perjalanan (takhliyah ath-thariq), dan kemampuan tempuh perjalanan (imkan al-masir).

f.        Sehat

Sedangkan syarat lain yang masuk dalam kriteria mampu, yaitu kesehatan jasmani dan keamanan jalan, merupakan  syarat wajib (syarth fi al-wujub). Artinya syarat tersebut tidak mengharuskan terwajib haji untuk melakukan perjalanan haji dan umrah, akan tetapi dapat diganti dengan yang lainnya. Contoh, orang lanjut usia yang tidak mampu lagi duduk berlama-lama di atas kendaraan, atau factor jalan tidak aman hingga mengkhawatirkan keselamatan diri, atau orang yang menderita sakit yagn tidak memungkinkan berhaji, maupun udzur-udzur lain yan tidak memungkinkan pelaksanaan kewajiban haji dan umrah.[2]

2.      Syarat sah haji

a.       Waktu tertentu

Waktu khusus pelaksanaan setiap ritual haji merupakan syarat sah pelaksanaan. Tergelincirnya matahari merupakan syarat sah wukuf di Arafah (yang merupakan rukun dalam haji) pada tanggal 9 dzulhijah hingga terbit fajar tanggal 10 dzulhijah. Fajar tanggal 10 dzulhijah hingga waktu tak terhingga adalah syarat sah thawaf ifadah  yang merupakan rukundalam haji. Sehingga ia dapat dikerjakan kapan saja setelah wukuf di Arafah. Jika jama’ah haji tidak wukuf di Arafah pada waktunya sebelum thawaf ini, maka hajinya tidak sah.

Bulan-bulan haji, yaitu syawal, dzulqo’dah, dan 10 hari pertama dzulhijah merupakan syarat sah pelaksanaa haji secara keseluruhan. Jika seseorang berthawaf mengelilingi ka’bah dan ber sa’i antara shafa dan marwah sebelum bulan-bulan yang telah ditentukan tersebut makanya hajinya tidak sah, baik haji yang wajib maupun yang tidak wajib.

Waktu ihram adalah sejak dimulainya bulan-bulan tersebut pada waktu kapanpun, dan diperbolehkan ihram sebelum masuknya bulan-bulan haji tersebut namun hukumnya makruh.

b.      Tempat tertentu

Tempat-tempat yang khusus dilokasikan untuk pelaksanaan ritual ibadah haji adalah tanah Arafah untuk Wukuf dan ka’bah di dalam kompleks Masjidil Haram untuk Thawaf. Jika seseorang wukuf di suatu tempat selain Arafah, atau thawaf  mengelilingi tempat lain yang bukan ka’bah, maka itu bukanlah haji yang sah.[3]

3.      Rukun-rukun Haji

a.       Ihram adalah berniat untuk mengerjakan haji atau umrah.

b.      Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah

Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari kea rah barat jatuh pada tanggal 9 dzulhijah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 dzulhijah.

c.       Tawaf adalah mengelilingi ka’bah

Macam-macam tawaf:

1.      Thawaf Qudum yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil Haram.

2.      Thawaf Ifadahah yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji.

3.      Thawaf wada’ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah memnuju tempat tinggalnya.

d.      Sa’I yakni lari-lari kecil diantara bukit shafa dan marwah.

Syarat-syarat sa’I adalah sebagai berikut:

1.      Hendaklah dimulai dari Bukit Shafa dan disudahi di Bukit Marwah

2.      Dilakukan sebanyak 7 kali

3.      Waktu sa’I adalah sesudah thawaf rukun maupun qudum

e.       Tahallul yaitu mencukur atau menggunting  rambut minimal tiga helai

f.        Tertib yaitu menertibkan rukun-rukun itu dengan mendahulukan yang dahulu dari rukun-rukun itu.[4]

C.    Hal yang diwajibkan dan disunnahkan

1.      Wajib Haji yaitu sesuatu yang harus dikerjakan, tapi sahnya haji tidak tergantung atasnya, karena dapat digantikan dengan dam (denda).

a.       Ihram dari miqat

b.      Sa’I antara Shafa dan Marwa

c.       Mabit di Muzdalifah

d.      Melempar jumrah

e.       Mabit di Mina

f.        Mencukur dan memangkas rambut

2.      Sunah-sunah haji juga cukup banyak. Di antaranya ada yang berkaitan dengan ihram, thawaf, sa’I, dan wukuf. Kesunahan tersebut antara lain:

a.       Mandi ketika

b.      hendak ihram

c.       Memakai kain ihram baru

d.      Memperbanyak talbiyah

e.       Melaksanakan thawaf qudum

f.        Shalat dua rakaat thawaf

g.      Bermalam di Mina[5]

h.      Thawaf Wada’

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Haji yaitu menyengaja menuju ke Ka’bah baitullah untuk menjalankan ibadah yaitu Ibadah Syari’ah yang terdahulu. Hokum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam AL Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.

Tata cara pelaksanaan haji harus sesuia dengan syarat, rukun, wajib, dan Sunnah haji. Syarat haji diantaranya : islam, baligh, berakal, merdeka, mampu, sehat. Sedangkan rukun haji adalah ihram, wukuf di Arafah, thawaf, sa’I, tahallul dan tertib atau berurutan.





























DAFTAR PUSTAKA

            As’ad H.Aliy.1984.Taqrib Dalil. Yogyakarta: Menara Kudus

            Azzam, Abdul Aziz Muhamad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.2010.Fiqih Ibadah. Jakarta: AMZAH

            Rasjid, H.Sulaiman. 2010.Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo



[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010, hlm.247-248
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, Jakarta: AMZAH, 2010,hlm.499-503
[3] Ibid,hlm.505-506
[4] Opcit, hlm 252-256
[5] Ibid, hlm.523-526

Komentar

Postingan Populer